Ilmu Budaya Dasar; Analisis Film 'Sang Pencerah'

ANALISIS FILM SANG PENCERAH


Film ini adalah salah satu film megesankan bagi saya yang baru menonton. Kiranya dari film ini kita bisa menemukan sebuah fakta sejarah yang sulit untuk dilupakan. Film Sang Pencerah ini merupakan karya dari sutradara Hanung Bramantyo. Dengan menggunakan pendekatan kebudayaan, di dalamnya dibahas hubungan antara film sebagai artefak seni dengan isu-isu budaya, khususnya dalam kaitannya dengan masalah ritual keagaamaan, dalam hal ini agama Islam. Dalam konteks ini, hubungan antara hati dan rasio yang menjadi subyek penelitian utama berbanding lurus dengan hubungan antara tradisi dan modernitas sebagai paradigma zaman. Karena film ini diciptakan pada era kontemporer, studi atas film tersebut juga dihubungkan dengan fenomena ritual budaya dan agama saat ini.
Kisah ini berfokus pada sejarah hidup pendiri Muhammadiyah, KH. Ahmad Dahlan, sejak lahir hingga mendirikan Muhammadiyah pada 12 November 1912. Dia beserta 5 muridnya (Sudjak, Fachrudin, Hisyam, Syarkawi, Abdul Ghani). Diceritakan pada masa itu, masyarakat Yogyakarta khususnya sekitar kraton Yogyakarta masih percaya dengan hal-hal yang berbau magis. Hal itu disebabkan karena masih kentalnya adat kebudayaan yang dibawa oleh nenek moyang mereka.
Kepercayaan animisme dan dinamisme masih hangat terasa pada kehidupan masyarakat daerah itu. Meskipun mereka telah menganut agama islam namun agama islam yang mereka anut berakulturasi dengan kepercayaan animisme dan dinamisme. Hal itu ditunjukan dengan masih banyaknya masyarakat yang masih melestarikan tradisi kepercayaan animisme dan dinamisme seperti memberi sesaji pada pohon-pohon yang besar dan menyembah barang-barang yang dianggap keramat. Sebagian besar mereka masih beranggapan dengan memberikan sesaji diharapkan hasil panen mereka akan melimpah, jauh dari bahaya malapetaka dan rizeki akan datang dengan mudah serta melimpah. Tradisi dan kultural tersebut seperti sudah mendarah daging dan membudaya di masyarakat sehingga sangat susah untuk dihilangkan. Padahal cara yang dianut masyarakat tersebut merupakan hal yang sangat menyalahi kaidah dalam agama, menyimpang dari agama terutama dalam agama islam.
 Dalam islam orang yang menyembah selain Tuhan YME dianggap musyrik. Islam selalu mengajarkan umatnya untuk menyembah dan percaya pada satu kepercayaan yang dianut yaitu percaya pada Tuhan YME yang menciptakan alam semesta beserta isinya. Semua anugerah kenikmatan seperti kesehatan, jabatan dan kekayaan merupakan pemberian Tuhan semata. Selain masalah diatas hubungan antar masyarakat kelas atas dan masyarakat kelas bawah hidup dalam ketimpangan, dimana terjadi ketimpangan masyarakat kelas bawah yang selalu mengagungkan masyarakat kelas atas, mereka menganggap kelas atas adalah pemimpin yang harus selalu dihargai, dihormati, disembah dan di agung-agungkan seperti yang dilakukan masyarakat terhadap seorang kyai atau orang yang memiliki kedudukan yang berpengaruh tinggi dalam suatu daerah tersebut padahal belum tentu semua yang dilakukan benar.
Hal itu terlihat jelas dari masyarakat yang harus merangkak dan bersujud saat seorang kyai datang. Permasalah-permasalahan seperti ini yang membuat seorang pemuda tergugah hatinya. Pemuda tersebut bernama Muhammad Darwis. Seorang pemuda yang menyadari adanya pelaksanaan syariat Islam yang melenceng dari ketentuan bahkan terbilang menuju kesesatan. Bermodal dari kegelisahan dan rasa prihatin terhadap keadaan masyarakat sekitar yang masih percaya dengan hal-hal yang berbau ghoib. Secara tidak langsung mereka telah menyekutukan Tuhan YME. Mereka telah melakukan serangkaian kegiatan yang bisa dikatakan musyrik. Darwis pun memutuskan untuk pergi haji ke mekah dan munutut ilmu di Mesir untuk memperdalam ilmu Islam dan mencari kebenaran tentang syariat Islam yang benar itu yang seperti apa. Setelah bertahun-tahun menimba ilmu di negeri orang dan merasa bekal ilmu yang di dapat sudah dinggap cukup Darwispun memutuskan untuk kembali ke daerah asalnya Yogyakarta. 
Bekal ilmu agama yang didapatkan diharapkan dapat bermanfaat untuk meluruskan tentang kaidah dan syariat dalam Islam didaerahnya karena telah melenceng kearah sesat, selain itu Darwis juga mendapat gelar nama Ahmad Dahlan, nama tersebut diberikan oleh gurunya. Sesampainya di stasiun dia disambut dengan gembira oleh keluarganya. Selang beberapa waktu, akhirnya dia menikah dengan Siti Walidah. Masyarakat menerima kehadiran kyai Ahmad Dahlan dengan baik. Sepeninggalan ayahnya beliau diangkat sebagai khotib masjid besar yang ada disekitar Kraton Kesultanan Yogyakarta.
Ahmad Dahlan memulai pergerakannya dengan mengubah arah kiblat Masjid Kauman. Melalui pengetahuan geografi yang dimilikinya, Ahmad Dahlan menyadari bahwa arah kiblat tidak lurus ke arah barat. Hal itu menyebabkan terjadinya kekacauan di dalam masjid karena ada sebagian jemaah yang mengikuti sholat dari Ahmad Dahlan dan ada pula yang masih sholat dengan lurus mengarah kiblat. Keadaan ini sontak saja menjadi pembicaraan para sesepuh. Melihat kekacauan yang ada semakin tak terkontrol akhirnya para sesepuhpun mengadakan  pertemuan dengan mengundang antara lain semua pengurus masjid dan orang-orang yang memiliki pengaruh besar dalam masjid untuk membicarakan mengenai perubahan arah kiblat namun bukanya mufakat yang didapat justru terjadi debat pendapat antar para sesepuh masjid dalem kraton yang bersikeras menolak pernyataan Ahmad Dahlan mengeanai pemindahan kiblat. Mereka bersikeras tetap menganggap pendapat yang dikemukakan Ahmad Dahlan tersebut salah, mereka malah menuduh Ahmad Dahlan kafir percaya pada setan. 
Mereka juga menganggap peta yang Ahmad Dahlan bahwa itu buatan orang kafir. Sikap Ahmad Dahlan yang tetap pada pendiriannya memicu kemarahan Kyai Penghulu Kamaludiningrat yang merupakan kyai penjaga tradisi. Akibatnya, surau milik Ahmad Dahlan kemudian dirobohkan karena dituding menyebarkan aliran sesat. 
Perjuangan Ahmad Dahlan semakin berat dan banyak tantangan karena surau milik Ahmad Dahlan telah dibakar habis. Beliau akhirnya memutuskan untuk meninggalkan Yogyakarta bersama istri dan anaknya. Namun niat beliau di halang-halangi oleh kakaknya, bahkan kakaknya bersedia untuk membangun kembali surau yang telah dihancurkan. Setelah diberi nasehat oleh kakaknya beliaupun bersedia untuk kembali untuk mengajar murid-muridnya karena mereka masih sangat membutuhkan beliau. 
Selain itu menghidar bukan cara yang tepat untuk menyelesaikan masalah yang ada. Mushola yang telah dibangun diberi nama Ahmad Dahlan yang letaknya didekat rumahnya. Semakin hari semakin banyak murid yang datang belajar mengaji dimushola. Metode pembelajaran yang diberikan juga terkesan unik lain dari yang lain. Berliau mengajar melalui musik biola yang didapat dari pedagang saat perjalanan kembali ke Yogyakarta. Untuk meredam konflik yang semakin memanas sultanpun membiayai Ahmad Dahlan untuk pergi berangkat haji kembali. Sepulanganya dari mekkah aktifitas lain yang dilakukan Ahmad Dahlan, yaitu membuka sekolah yang menggunakan kursi seperti di sekolah belanda.
Beliau mengajar dengan benar sesuai kaidah islam, beliau juga mengajarkan kepada murid-muridnya bahwa agama bukan untuk dihafal tetapi dimengerti dan diingat, sampai suatu saat kyai bergabung dengan para golongan penggerak Budi Utomo yang hal tersebut ditentang oleh murid-muridnya karena dianggap golongan tersebut merupakan para kafir, murid kyai menganggap tidak pantas kyai bergabung dengan kelompok tersebut karena Ahmad Dahlam seorang kyai sedangkan mereka suka minum-minuman keras, mabuk dan sebagainya.Selain itu, tuduhan Kyai Kejawen juga dilemparkan kepadanya karena Ahmad Dahlan dekat dengan cendikiawan Jawa di Boedi Oetomo. 
Berliaupun menjelaskan kepada muridnya bahwa bergabungnya berliau dengan Boedi Oetomo semata-mata dengan tujuan  hanya untuk belajar tentang bagaimana cara berorganisasi dan mengenai managemen serta bersosialisasi dalam suatu kelompok dengan baik, dengan cara menjadi salah satu dari anggota kelompok tersebut dan dengan mengikuti pertemuan-pertemuan dari itulah beliau belajar. Agar beliau tidak saja dapat mengetahui tentang ajaran agama islam saja tetapi dapat mengetahui tentang ilmu yang lain tanpa keluar dari syariat islam bahwa perlunya pengetahuan tanpa mengabaikan ajaran islam agar masyarakat tidak menjadi terbelakang tentang pengetahuan yang ada.  Pada dasarnya apa yang dipikirkan berliau bertujuan baik bagi perkembangan islam yang ada di yogyakarta. Berliau hanya ingin menambah wawasan dengan bergabung pada kelompok Boedi Oetomo. Namun niat baik seseorang belum tentu baik pula dimata orang lain. 
Banyak orang yang tidak sependapat dengan berliau bahkan menentang.  Hal itu justru dijadikan pacuan berliau untuk bisa terus maju kedepan meski banyak kerikil tajam yang menghalangi. Kata putus asa tak pernah terlitas dipikiranya. Selain itu semua yang dilakukan hanya untuk mempermudah umatnya dalam menerima ilmu. Melalui metode pembelajaran yang baru diharapkan agar umatnya dapat menerima ilmu yang di ajarkan dapat diserap dengan mudah serta tidak membuat bosan dan jenuh. Selama itu tak keluar dari syariat islam. Bukan perjuangan namanya jika tidak membutuhkan kerja keras.
Semua penolakan dan tuduhan tersebut tidak membuat Ahmad Dahlan mundur. Dengan didampingi istrinya –Siti Walidah – dan dukungan lima orang murid setianya — Fahrudin , Sudja , Sangidu , Hisyam  dan Dirjo Ahmad Dahlan membentuk organisasi Muhammadiyah dengan tujuan untuk mendidik umat Islam yang saat itu berbaur dengan mistik kejawen agar berpikiran maju sesuai dengan perkembangan zaman. Melihat kultural masyarakat Yogyakarta yang masih kental, Ahmad Dahlanpun menggabungkan konsep kebudayaan dengan agama. Dakwah yang dilakukan mengunakan wayang sebagai media dawah. Berliau berfikir wayang dapat digunakan sebagai media dakwah karena orang pada zaman dahulu telah mengenal wayang sehingga akan lebih mudah jika sosialisasi mengenai syariat agama islam akan mudah dipahami dah diserap oleh pemikiran masyarakat menggunakan wayang sebagai medianya. Disamping itu cara ini dianggap tidak akan membuat masyarakat menjadi jenuh dan bosan menerima ilmu yang mereka pelajari. Wayang sejak dahulu memang media dakwah yang efektif karena agama islam masuk juga menggunakan media dakwah pertunjukan wayang. Cerita-ceritanya juga kebanyakan masyarakat menyukainya. Agama islam memang telah masuk lama dalam masyarakat dan sebagian besar mereka menganut agama islam namun kultur masyarakat masih saja ada.
Kebudayaan masyarakat jaman dahulu yang menyembah hal-hal yang gaib dan menyembah berhala, menganggap pohon besar keramat, melakukan sesaji sampai sekarang ini masyarakat Yogyakarta masih melakukan sesaji untuk terhindar dari bencana seperti sesaji untuk gunung merapi dan sedekah laut agar diberi keselamatan yang hal tersebut sudah menjadi tradisi bagi setiap warga Yogyakarta sampai sekarang justru berbaur terakulturasi dengan ajaran islam, namun walaupun demikian tidak menghilangkan ajaran agama islam yang dianutnya. Selain menyiarkan agama islam secara tidak langsung juga melestarikan kebudayan nenek moyang.
Sedikit demi sedikit usaha yang dilakukan oleh kyai Ahmad Dahlan telah membawa banyak perubahan. Sebagian masyarakat telah sadar kalau memberi sesaji dan mempercayai hal-hal yang berbau ghoib merupakan kegitan musyrik yang sangat bertentangan dengan agama islam. Hal itu sama saja menyekutukan Tuhan YME yang merupakan satu-satunya penguasa jagad ini. Tuhan yang mencipatakan alam ini beserta isinya.  Masyarakat mulai sadar betapa petingnya agama sebagai pedoman hidup dalam kehidupan sehari-hari.
Agamalah yang mampu menuntun orang membedakan mana yang baik mana yang buruk mana yang benar dan mana yang salah. Agama dan budaya saling berkaitan dan saling mempengaruhi. Melalui proses sosial dan interaksi yang ada kebudayaan telah menjadi media penyampaian ajaran agama yang efektif karena pada kehidupan masyarakat, masyarakat tidak dapat dipisahkan dengan agama ataupun budaya, keduanya saling mempengaruhi dan berperan penting dalam akses kehidupan masyarakat sehari-hari karena fungsi dari kebudayaan itu sendiri untuk memelihara keseimbangan dan keteraturan dalam masyarakat. Selain itu lingkunganpun sangat berperan penting dalam pembentukan karakter dan kepribadian masing-masing masyarakat.
Secara tidak langsung agama telah menyatukan  kultur budaya yang ada didalam masyarakat sehingga terjadi keharmonisan hubungan antar umat beragama terutama sesama umat islam, perselisihan yang terjadi dapat diredam seperti yang terjadi antara kyai masjid besar dengan Ahmad Dahlan yang mengenai ajaran islam, permasalahanpun dapat terselesaikan dengan baik tanpa adanya pergolakan dan tanpa ada yang merasa dirugikan karena kerukunan antar sesama umat beragama merupakan salah satu hal yang diajarkan dalam agama islam. Sebenarnya yang dibutuhkan yaitu rasa saling menghormati dan menghargai satu sama lain itu merupkan hal yang terpeting dalam menciptakan suasana yang rukun tanpa adanya sikap fanatisme yang justru akan menimbulkan konflik yang pada akhirnya justru memicu adanya perpecahan yang terjadi. Keadaan ini justru akan sangat merugikan. 
Permasalahan–permasalahan yang ada diatas tidak perlu terjadi jika mereka mau menerima suatu perubahan selama itu merupakan perubahan menuju arah yang lebih baik dan tidak merugikan diantara kedua belah pihak. Semuanya itu seharusnya dijadiakan sebuah inovasi untuk menambah wawasan untuk dikaji lebih jauh dan untuk mendalami tentang aturan-aturan kaidah dalam islam yang pada akhirnya dapat memperkaya khasanah sistem spiritual dalam masyarakat. Jika para sesepuh masjid bisa bersikap terbuka mau menerima perubahan yang terjadi tentu saja perselisihan pendapat tidak perlu terjadi. Apa yang dikatakan kyai Ahmad Dahlan mengeani arah kiblat memang benar bahwa arah sholat yang benar lebih condong kekiblat, menyesuaikan dengan apa yang ada di tanah suci tempat yang sangat dimuliakan oleh Allah SWT, berliau berpendapat tersebut disertai dengan argumen yang dapat dipertanggung jawabkan. Berliau berkata berdasarkan fakta yang ada. 
Melalui media kompas dan peta kita dapat mengetahui arah yang benar bukan berarti kita kafir percaya dengan hal-hal tersebut tetapi dengan media tersebut kita dapat mengetahui arah dan petunjuk yang benar seperti yang dilakukan kyai Ahmad Dahlan tersebut, agar tidak terjadi kekeliruan seperti yang ada ketika belum adanya perubahan yang dilakukan oleh beliau. Berkat jasa berliau kekeliruan yang selama ini terjadi dapat diluruskan. Tidak hanya mengenai arah kiblat namun tentang budaya sesaji yang masih melekat pada masyarakat daerah Yogyakarta. 
Sebagian besar masyarakat telah menyadari kekeliruan yang selama ini mereka lakukan. Semakin sedikit masyarakat yang masih menggunakan budaya sesaji menujukan bahwa Kyai Ahmad Dahlan telah berhasil membawa suatu perubahan yang lebih baik dan berliau sangat berjasa bagi kehidupan sosial budaya dan agama di daerah Yogyakarta. Sebagian masyarakat telah menyadari bahwa yang memberikan mereka kesehatan, rizeki, kekayaan tak lain adalah anugerah dari Yang Maha kuasa bukan pohon, keris atau benda keramat lainya. Sungguh sangat murah hati Tuhan YME memberikan anugerah yang tak ternilai harganya.  Meskipun begitu tradisi budaya sesaji sampai saat ini masih berjalan didaerah Yogyakarta. Hal itu mencerminkan bahwa tradisi tersebut telah membudaya di dalam masyarakat sehingga tidak akan hilang walaupun sebagian besar telah menyadari jika tradisi tersebut bertentangan dengan ajaran dan syariat islam. Pada dasarnya kebudayaan suatu daerah merupakan suatu ciri khas dari daerah itu sendiri dan merupakan hasil dari masyarakat melalui proses interaksi dan sosialisasi.

Analisis Struktur
Sang Pencerah merupakan film dengan teknik penceritaan yang convensional, yakni mengalur pada plot yang linear dari peristiwa A sampai Z. Pada alur itu bahkan tidak ditemukan momen flashback, semua peristiwa dirangkai secara kronologis dari awal hingga akhir.
Struktur alur demikian dimungkin-kan dipilih Bramantyo karena film ini memang meceritakan biografi seorang tokoh, yakni kisah tokoh tersebut mulai dilahirkan hingga momen puncak (pencapaian) tokoh dalam kehidupannya, yakni lahirnya Ahmad Dahlan hingga berdirinya Muhammadiyah. Dengan demikian, film ini memang tidak menyoroti konflik batin atau perjalanan spiritual sang tokoh, melainkan lebih ke arah kisah kehidupan tokoh dalam kaitan dengan perubahan-perubahan sosial yang terjadi di masyarakat. Dalam perubahan itu, sang tokoh hadir sebagai sosok yang “mengubah”. Pada konteks ini pun sebenarnya film ini tidak bisa dikatakan sebagai film “sejarah tokoh” sebab ia hanya mengambil bagian-bagian penting (pokok soal) dari peranan sang tokoh dalam masyarakat. Kisah kepergian dan proses belajar tokoh mendalami Islam di Mekkah, misalnya, lebih dihadirkan secara in absentia dalam benak penonton.

Beranalogi pada konsep linguistik struktural Ferdinand de Saussure dalam Course in General Linguistics (1990), secara umum struktur film ini dibangun dalam dikotomi atau pasangan-pasangan pertentangan (binary opposition). Pasangan-pasangan pertentangan tersebut antara lain sebagai berikut:


Pasangan-pasangan pertentangan tersebut menjadi semacam “tulang punggung cerita”. Artinya, seluruh peristiwa terjadi di atas pasangan pertentangan tersebut atau karena adanya pasangan pertentangan itu. Konflik berkepanjangan antara Ahmad Dahlan dan Imam Masjid Besar, misalnya, melahirkan berbagai peristiwa sepanjang cerita, peristiwa pembakaran Langgar Kidoel terjadi karena kehadirannya—setelah Ahmad Dahlan menggantikan ayahnya sebagai imam—dianggap menentang Masjid Besar, dan seterusnya.
Dalam pendekatan kebudayaan, karya seni, dalam hal ini film, ditempatkan pada ruang dan waktu ketika karya itu diciptakan, hidup, dan berkembang. Dengan kata lain, karya seni disikapi sebagai sebuah entitas yang memiliki hubungan dengan persoalan zamannya. Pada karya-karya tertentu yang gagasan ceritanya lahir dari fenomena sezaman, hubungan tersebut kiranya tidak terlalu rumit. Di situ, karya seni bisa dilihat sebagai mimesis (Plato), representasi (Aristoteles) atau, sebagaimana dikatakan M.H. Abram, dapat disikapi sebagai cermin realitas (Abrams, 1980: 31).
Akan tetapi, jika gagasan dasar karya menyangkut sejarah, artinya karya yang lahir hari ini berisi kisah tentang masa lalu, hubungannya menjadi sangat kompleks. Apresiator atau periset harus menelaah dua hal sekaligus. Pertama, bagaimana hubungan realitas yang diceritakan (realitas karya) berhubungan dengan nilai-nilai budaya sebagai realitas riil (di luar karya). Kedua, bagaimana pula karya itu berhubungan dengan realitas zaman saat dia diciptakan. Dalam hal ini setidaknya muncul pertanyaan, mengapa realitas masa lalu itu diwujudkan dalam karya hari ini.
Sementara itu, film ini diciptakan pada zaman yang telah jauh berbeda dari realitas cerita dalam film tersebut, yakni kurang lebih satu abad kemudian. Fakta tersebut jelas menimbulkan konsekuensi, yakni Sang Pencerah harus dianalisis dalam dua tahap. Tahap pertama, fakta narasi film harus dikorelasikan dengan ruang dan waktu riil narasi. Tahap kedua, fakta narasi film tidak bisa tidak mesti dihubungkan dengan ruang dan waktu riil ketika film ini dibuat, yakni kondisi zaman hari ini. Sementara itu, kebudayaan—sebagai ruang dan waktu cerita juga penceritaan film-- secara umum dapat dilihat dalam dua kategori, yakni kebudayaan benda (material culture) berupa karya (artifak) yang teraba (tangible) dan kebudayaan non-benda (nonmaterial culture), yaitu nilai-nilai, pandangan hidup, gagasan, dan lain-lain yang takteraba (intengible). Namun, kedua hal ini bukan merupakan sesuatu yang bersifat partikular atau terpisah, melainkan merupakan sebuah kesatuan. Karya-karya budaya (artifak) umumnya merefer ke berbagai hal di luar dirinya, yakni pada ranah kebudayaan nonbenda tersebut. Dengan demikian, film Sang Pencerah sebagai artifak kebudayaan juga berada dalam posisi itu.








Sumber: (http://id.wikipedia.org/wiki/Sang_Pencerah)


Afifi, John. 2011. Pakai Otak Kananmu, Dijamin Kaya. Yogyakarta: Bening
Barker, Chris. 2005. Cultural Studies, Teori dan Praktik, terjemahan Tim KUNCI Cultural Studies Centre. Yogyakarta: Bentang.
Berg, C.C. 1974. Penulisan Sejarah Jawa, terjemahan oleh S. Gunawan. Jakarta: Bharata.
Gee, James Paul. 2005. An Introduction to Discourse Analysis, Theory and Method. London and New York: Routledge.
Giddens, Anthony. 2003. Masyarakat Post Tradisional, terjemahan oleh Alie Noer Zaman. Yogyakarta: IRCiSoD.

Pratista, Himawan.2008. Memahami Film. Yogyakarta: Homerian Pustaka

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Audit Teknologi Sistem Informasi

Ilmu Sosial Dasar; Pengertian, Fungsi dan Keterkaitan Agama Dengan Masyarakat